Kamis, 30 Agustus 2012 0 komentar

Babad Limbangan

Naskah Babad Limbangan ditulis dengan menggunakan huruf Arab Pegon dalam bahasa sunda. Tidak diketahui siapa penuulis naskah ini. Namun dari bentuknya – seperti diterangkan dalam buku Naskah Sunda Lama Kelompok Babad yang disusun Edi S. Ekadjati dkk. Dan diterbitkan oleh pusat pembinaan dan pengembangan Bahasa Depdikbud pada 1985 – naskah ini 23 x 35 cm dan ditulis pada kertas putih bergaris.

Naskah yang ditulis dalam bentuk prosa ini mengisahkan tentang asal-usul penguasa Limbangan serta asal-usul nama tempat di sekitar Garut. Dikisahkan bahwa Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran suatu hari memerintahkan Aki Haruman untuk berburu. Namun alih-alih mendapat binatang buruan, Aki Haruman menemukan sinar terang dari atas gunung. Ternyata sinar itu berasal dari Nyi Putri dari Limbangan yang sedang mandi. Penemuan itu dilaporkan pada Prabu Siliwangi. Mendengar bahwa paras putrid itu sangat cantik, Prabu Siliwangi berniat melamar Nyi Putri Limbangan dan menamakan gunung tempat ditemukannya menjadi Gunung Haruman.
           
Awalnya lamaran itu ditolak Nyi Putri. Namun karena bujukan ayahnya yang bernama Sunan Rumenggong, diterima juga lamaran itu. Dari perkawinan itu lahir dua orang putra, yakni Basudewa dan Liman Sanjaya. Basudewa kemudian dijadikan penguasa Limbangan dan Liman Sanjaya dijadikan penguasa dayeuh luhur.
            
Suatu hari, untuk kedua putranya itu, Prabu Siliwangi mengirim dua orang putrid untuk dijadikan istri anak-anaknya. Yang satu berparas cantik dan dibawa dengan tandu yang jelek, dan yang satu berparas biasa-biasa saja tetapi dibawa dengan tandu yang bagus. Pertama-tama rombongan itu datang ke Limbangan. Dan penguasa Limbangan memilih tandu yang baus, sementara tanduk yang jelek dibawa ke dayeuhluhur.
           
Prabu Basudewa menyesal telah memilih tandu yang bagus karena istri yang diperolehnya berparas biasa-biasa saja. Dalam suatu pemburuan bersama Liman Sanjaya, Basudewa meminta pada saudaranya itu agar menukar istri-istri mereka. Prabu Liman Sanjaya menyetujuinya. Tetapi percakapan itu di dengar oleh istri Liman Sanjaya. Karena tidak mau diperistri Basudewa, ia diam-diam melarikan diri.
            
Setelah dicari-cari, Liman Sanjaya menemukan istrinya dan berjanji tidak akan menukar nya dengan istri Basudewa. Dalam pemgembanraan selanjutnya, Liman Sanjaya dan istrinya tiba di sebuah hutan yang strategis untuk didiami. Hutan itu dijaga oleh lelaki tua kiriman oara dewa. Setelah mengetahui bahwa Liman Sanjaya adalah calon penghuni hutan itu lelaki tua it pun menghilang. Kakek hutan itu berkembang menjadi sebuah Negara yang dikenal dengan nama Dayeuhmanggung. Selain Liman Sanjaya, raja Dayeuhmanggung lainnya adalah Sunan Ranggalawe.
1 komentar

Babad Godog

Babad dalam kesusastraan Sunda merupakan istilah yang merujuk pada cerita sejarah. Namun dalam babad seringkali terselip mitos dan doneng. Demikian pula cerita yang terdapat dalam Babad Godog yang sering juga di sebut Wawacan Prabu Kean Santang Aji karena ceritanya ditulis dalam bentuk wawacan, sejenis puisi tradisional yang disusun menggunakan aturan pupuh. Wawacan ini sering dipentaskan dalam pagelaran beluk atau mamaca/macapat, terutama dalam upacara khitanan, karena ada sebagian isinya bercerita tentang bagimana cara mengkhitan.

Babad Godog menceritakan proses islamisasi di Tanah Sunda yang dilakukan oleh tokoh yang terkenal dengan sebutan Kean Santang. Diceritakan bhawa Kean Santang adalah putra Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Karena kesaktiannya, ia tidak pernah melihat darahnya sendiri. Ahli nujum dikumpulkan, untuk mengetahui siapa gerangan yang mampu mengalahkannya. Seorang kakek, konon penjelmaan Jibril, menghadap Prabu Siliwangi dan memberitahukan bahwa yang mampu mengungguli kesaktian Kean Santang hanyalah Bagenda Ali dari Mekah.

Atas izin ayahnya, Kean Santang berangkat ke Mekah. Namun di atas langit ia dicegat seorang putri cantik yang meminta dibuatkan untaian bintang. Namun bintang-bintang malah menjauhinya dan Kean Santang mengejarnya hingga sampai dilangit Mekah. Selama pengejaran bintang tersebut, di langit terjadi keributan yang membuat Nabi Muhammad mengutus Bagenda Ali, sahabatnya, untuk melihat apa yang sedang terjadi. Atas bantuan Bagenda Ali, Kean Santang dapat menarik untaian bintang yang segera berubah menjadi untaian tasbih.

Kean Santang kemudian tahu bahwa yang membantunya adalah Bagenda Ali, orang yang yang selama ini dicarinya. Ia kemudian mengajak bertarung. Namun Bagenda Ali tidak melayaninya dan menghilang. Kean Santang mencoba mengejarnya hingga ke daratan Mekah.

Sesampainya di daratan ia bertemu seorang kakek yang sedang memikul tiang mesjid dan membawa tongkat. Kakek itu bersedia mempertemukan Kean Santang dan Bagenda Ali. Namun sebelumnya Kean Santang disuruh mengambil tongkatnya itu, ternyata Kean Santang tidak mampu mencabutnya, bahkan sampai keluar darah dari pori-porinya.

Akhirnya Kean Santang menyerah, ia bersedia masuk Islam dan akhirnya diakui sebagai sahabat nabi. Oleh Muhammad ia diperintahkan untuk menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Ketika pulang ia langsung menemui ayahnya dan menyampaikan perintah Nabi. Namun Prabu Siliwangi meminta bukti jika ia utusan Nabi. Kean Santang kembali ke Mekah. Nabi memberiya Al-quran dan piagam pengangkatan.

Kean Santang kembali pada ayahnya dan mengajak masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi menolaknya dan memilih kabur beserta pengawalnya. Prabu Siliwangi kemudian berubah wujud menjadi harimau dan kerajaanya dalam sekejap berubah menjadi hutan belantara. Kean Santang melanjutkan perjalanannya menyebarkan Islam. Sampailah ia di Godog dan menetap disana. Ketika meninggal pun ia dimakamkan di Godog.
Rabu, 29 Agustus 2012 0 komentar

Candi Cangkuang

Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, kec. Leles,GarutJawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.
Sejarah Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmitaberdasarkan laporan Vorderman (terbit tahun 1893) mengenai adanya sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arif Muhammad di Leles. Selain menemukan reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu-batu besar yang diperkirakan merupakan peninggalan zaman megalitikum. Penelitian selanjutnya (tahun 1967 dan1968) berhasil menggali bangunan makam.
Walaupun hampir bisa dipastikan bahwa candi ini merupakan peninggalan agama Hindu (kira-kira abad ke-8 M, satu zaman dengan candi-candi disitus Batujaya dan Cibuaya), yang mengherankan adalah adanya pemakaman Islam di sampingnya.
Geografi Candi Cangkuang terdapat di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur dengan luas 16,5 ha. Pulau kecil ini terdapat di tengah danau Cangkuang pada koordinat 106°54’36,79″ Bujur Timur dan 7°06’09″ Lintang Selatan. Selain pulau yang memiliki candi, di danau ini terdapat pula dua pulau lainnya dengan ukuran yang lebih kecil.
Lokasi danau/situ Cangkuang ini topografinya terdapat pada satu lembah yang subur kira-kira 600-an m l.b.l. yang dikelilingi pegunungan: Gunung Haruman (1.218 m l.b.l.) di sebelah timur – utara, Pasir Kadaleman (681 m l.b.l.) di tenggara, Pasir Gadung (1.841 m l.b.l.) di sebelah selatan,Gunung Guntur (2.849 m l.b.l.) di sebelah barat-selatan, Gunung Malang (1.329 m l.b.l.) di sebelah barat, Gunung Mandalawangi di sebelah selatan-utara, serta Gunung Kaledong (1.249 m l.b.l.) di sebelah timur.
Bangunan Candi Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma,pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.
Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22 m dengan tinggi 2,49 m. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56 m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 m dengan tinggi 1,56 m dan 2,74 x 2,74 m yang tingginya 1,1 m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 m yang tingginya 2,55 m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4 m yang dalamnya 7 m (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).
Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala sapi (nandi) yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga.
Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 cm, lebar pundak 18 cm, lebar pinggang 9 cm, padmasana 38 cm (tingginya 14 cm), lapik 37 cm & 45 cm (tinggi 6 cm dan 19 cm), tinggi 41 cm.
Candi Cangkuang sebagaimana terlihat sekarang ini, sesungguhnya adalah hasil rekayasa rekonstruksi, sebab bangunan aslinya hanyalah 35%-an. Oleh sebab itu, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang sebenarnya belumlah diketahui.
Candi ini berjarak sekitar 3 m di sebelah selatan makam Arif Muhammad.

0 komentar

Sejarah Garut


Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendles dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila (indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan RAA Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cumurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci (Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak.
Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia “kakarut” atau tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau “ngabaladah” tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya :
“Mengapa berdarah?” Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi “gagarut”.
Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan “Ki Garut” dan telaganya dinamai “Ci Garut”.
(Lokasi telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTPI, SLTPII, dan SLTP IV Garut).
Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut.. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan. Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat“Babancong” tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut, sekitar Tahun 1821.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915).
Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.
Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Karta Legawa(1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).
Selasa, 28 Agustus 2012 1 komentar

Seputar Garut (Alun-alun Garut)


ALUN-ALUN GARUT

Seperti hal nya kota-kota tua di pulau jawa, Garut pun memiliki Alun-alun. Alun-alun Garut yang cukup luas juga memiliki pola-pola yang sama dengan alun-alun di tempat lain. Yang di maksud pola tersebut adalah adanya mesjid, penjara, tempat tinggal bupatu (pendopo) dan perkantoran. Selain itu, cirri umum alun-alun di kota-kota tua adalah sekelilingnya dibatasi oleh jalan .

Demikian halnya dengan alun-alun Garut. Di selatan alun-alun terdapat pendopo yang saat ini di fungsikan menjadi rumah Dinas Bupati Garut. Dulu kompleks pendopo bukan saja menjadi rumah tinggal bupati, tetapi juga sekaligus menjadi tempat bupati berkantor. Pendopo sendiri sebenarnya aula tempat bupati melakukan pertemuan-pertemuan dengan para pejabat di bawahnya atau menerima tamu agung.

Di depan pendopo terdapat babncong. Bangunan ini mirip pesanggrahan yang berbentuk panggung. Jaman dulu babancong berfungsi sebagai tempat para pembesar menyaksikan keramaian alun-alun, atau tempat berpidato. Babncong memiliki kolong yang tingginya kira-kira 2 meter. Sampai sekarang pun, babancong masih digunakan untuk tempat duduk para pejabat jika di aun-alun diselenggarakan berbagai upacara.

Babancong

Di barat alun-alun terdapat Mesjid Agung yang megah. Dulu mesjid ini dinamai masigit. Di sebelah barat bangunan mesjid terdapat pemakaman para bupati Garut. Di sinilah pembesar-pembesar Garut zaman baheula (Zaman Dulu) dimakamkan. Di antaranya terdapat makam Pengulu Besar Limbangan, R.H Moehamad Moesa, dan R.A.A, Wirata-nudatar serta istrinya, Raden Ayu Lasminingrat.

Di sebelah utara alun-alun terdapat kantor Pembantu Gubernur Wilayah Priangan (Bakorwil). Kantor tersebut awalnya adalah kantor Asisten Residen Belanda untuk wilayah Priangan. Sementara di sebelah timur alun-alun terdapat penjara.Penjara ini cukup bersejarah. Di situlah beberapa orang pejuang Garut-baik pada jaman Belanda maupun jaman Jepang- dipenjarakan karena mentang pemerintahan colonial dan memperjuangkan kemerdekaan. Salah seorang yang pernah berkali-kali dijebloskan ke penjara ini adalah K.H Mustapa Kamil, ulama Garut yng sering membangkan pada kebijakan pemerintah colonial. Oleh sebab itu, ketika penjara ini hendak dialihfungsikan menjadi komplek pertokoan, banyak orang yang menentangnya. Karena, seharusnya penjara Garut dijadikan situs bersejarah dan di lindungi sebagai cagar budaya.

Dulu, di senelah utara alun-alun terdapat sebuah monument yang dibangun untuk memperingati jasa orang Belanda yang dianggap besar perhatiannya dalam memajukan masyarkat Garut. Dia adalah Karel Frederik Holle, sahabat karib Moehammad Moesa. Monument itu dikenal dengan Monumen Holle. Pada satu sisinya terdapat relief gambar Holle dan beberapa kata yang menjelaskan jasa-jasanya.

Sayang monument itu diruntuhkan pada jaman jepang. Maklum, jepang memang sangat anti Belanda . konon, monument itu tidak sepenuhnya dihancurkan. Bangunannya hanya di rubuhkan, kemudian di kubur di tempat nya berdiri. Wajar jika ada sebagian orang penasaran dan kemudian ingin menggali kembali monument itu. Namun niat itu ditentang banyak pihak karena dianggap hanya akan membangkitkan luka lama.

Pendopo Kab.Garut

Kantor Asisten Residen Priangan

Bukan hanya peristiwa itu yang terjadi di alun-alun Garut. Banyak peristiwa besar dari masa ke masa terjadi di alun-alun Garut sejak pembangunannya pada tahun 1813. Kini alun-alun Garut difungsikan menjadi ruang public. Selain di gunakan untuk tempat dilakukannya upacara resmi kenegaraan, banyak orang memanfaatkan alun-alun sekedar untuk mengaso melepas lelah, atau sebagai tempat untuk berolahraga.
 
;